October 30, 2014

Three Provinces Trip: Yogyakarta City

Jogja! Jogja! Jogja! Semoga kota ini tidak bosan menerima kedatanganku yang seringkali menjadikannya tempat transit :')

Aku, Aldo, Kunto, dan Yung menginjakkan kaki di Yogyakarta pada pukul 18.00 WIB. Sang nyonya rumah, Lia, berhalangan untuk menemui kami malam ini karena sesuatu dan lain hal *tsahh* Lia yang begitu baik hati dan rajin menabung ini, readers, telah memesan homestay untuk kami tinggal selama 4H3M ke depan. Duh, baik bangeeeet :3 Lia! Awas aja ya kalau kamu ke Manado tapi nggak bilang-bilang ke aku dulu :( 
Penginapan kami terletak di Pojok Beteng Kulon yang menurut GPS hanya berjarak +- 10 menit berkendara dari Lempuyangan. Harga Rp50.000,- naik taksi dan Rp30.000,- naik becak, yang kami tanyai di stasiun, terasa sangat membebankan untuk jarak 10 menit itu. Maklumlah, aku memang pejalan superirit. Kami pun dengan nekat berjalan kaki menempuh 4,3 km perjalanan ke Pokteng Kulon. Di tengah perjalanan memang sempat mengisi perut untuk makan malam, tapi ternyata 4,3 km itu melelahkan juga ditempuh dengan membawa ransel berat.

Penginapan kami di Pugeran 71 cukup nyaman karena memiliki AC, KM dalam, extra bed, TV, dan dispenser pribadi. Tersedia juga dapur kecil jika kami kelaparan dan ingin memasak mie instant. Setelah meletakkan barang-barang dan meluruskan kaki sejenak, aku mengajak kawanan kecil ini menuju ke Alun-alun Kidul yang bisa ditempuh dengan jalan kaki 15 menit. Ternyata ketiga teman priaku ini belum pernah ke Alkid! Fakta yang cukup mengejutkan, apalagi mengingat Kunto dan Yung yang sebenarnya tinggal di Pulau Jawa. Mereka pun excited menjajali tantangan khas Alkid: menerobos dua pohon beringin di tengah alun-alun. Kunto sukses dalam percobaan pertama, dan Yung menyusul di percobaan keduanya, keren! Aldo? Hmmm~ tak perlu ditanya, dia lebih tertarik mengabadikan sepeda-sepedaan berlampu untuk diunggah ke berbagai media sosial. Duh, tuntutan hidup sosialita ya...



Hari kedua di Jogja rencananya akan diisi dengan jalan-jalan seharian di kawasan Gunungkidul dan menyaksikan sunset disana. Apa daya, manusia memang hanya bisa berencana dan merusak rencana itu sendiri... eh? Hari ini Lia masih belum bisa menemani kami jalan-jalan dan hanya 'mengutus' supir beserta mobil yang telah dipesankannya duluan ke penginapan kami. Jam tujuh pagi mobil pun melaju membawa kami langsung ke Gunungkidul. Mungkin karena masih terkenang dengan Mas Paino *cieh*, mendapatkan supir yang pendiam dan kurang interaktif seperti hari ini terasa bagai siksaan bagiku. Pasalnya aku mengharapkan tour guide yang bisa mengerti seluk-beluk Gunungkidul dengan segala plus-minus-nya serta memuaskan semua hasrat bertanyaku. Ternyata Pak Supir yang ini hanya memberi jawaban singkat to the point sehingga aku segan untuk banyak bertanya. Air terjun di Gunkid? Tidak ada. Sri Gethuk itu masuk ke Pacitan? Ya. Jauh dari Gunkid? Ya. Lalu hening... padahal aku berharap dia akan memberi info tentang air terjun lain. Aku tahu kok ada air terjun lain tidak jauh letaknya dari Gunung Api Purba, tapi beliau tidak mengungkitnya, aku jadinya menangkap hal ini sebagai suatu tanda bahwa Pak Supir tidak ingin mengantar kami kesana. Duh. Dirinya mungkin memang hanya "supir" tanpa latar belakang "tour guide". Tidak mungkin lagi untuk meminta pengganti.

Gunungkidul punya 16 pantai yang memiliki keunikan masing-masing, namun si Pak Supir dengan gigih mengarahkan kami untuk memilih Pantai Indrayanti. Padahal aku tidak ingin kesana karena yakin bahwa di hari Sabtu seperti ini, pantai sepopuler Indrayanti pasti akan ramai pengunjung. Aku ingin ke Pantai Wediombo atau pantai-pantai kecil lain yang lebih sepi. Mengecewakan.




Benar saja, sesampainya di Indrayanti kami langsung dihadapkan dengan kenyataan bahwa sejuta umat manusia telah mendahului kami berada di sana. Oke, lebay. Memang tidak sejuta orang, tapi tetap saja membawa kenangan buruk Tanah Lot, Bali, yang membuatku tidak puas mengambil foto. Secara tidak sadar aku jadi memiliki pola pikir seperti turis asing yang mementingkan ketenangan dibanding hal-hal lainnya.

Di atas tebing dekat pantai

Ke pantai khusus untuk selfie
Panas-panasan demi pantai yang lebih sepi

Menemukan gua-guaan ini
Jalan-jalan di sepanjang jalur Pantai Indrayanti

Kami memilih bertahan di pantai lain sejalur dengan Indrayanti yang lebih sunyi karena berpasir kasar menyebabkan tidak ada yang tertarik untuk berenang di sini. Sambil foto-foto kami mencoba memikirkan: "Apa yang ingin dilakukan di Gunungkidul ini?" Saat jajan cilok di dekat pantai, aku iseng mengajak ngobrol pedagangnya. Ternyata jawabannya juga tidak memuaskan, beliau menyarankan untuk rafting saja di Gua Pindul. Astaga. Segitu terbatasnya kah pengetahuan orang-orang ini tentang lokasi wisata di Gunungkidul? Rembukan singkat kami akhirnya menghasilkan keputusan untuk kembali saja ke Jogja dan minta diantarkan ke Candi Prambanan. 

Ah, satu hal positif tentang si Pak Supir adalah beliau memberi rekomendasi rumah makan yang nikmat dan murah sebelum kembali ke Jogja. Kami menikmati makan siang bakso dengan porsi lumayan besar dan harga sangat terjangkau. Cukuplah untuk menyegarkan perasaan yang sedang kacau-balau ini.


Hello again, Prambanan!

Kunto yang cuma bisa mengintip di depan Candi Siwa untuk melihat arca di dalamnya :(
Karena sunyinya suasana dalam mobil (ya, si Pak Supir bahkan tidak menyetel radio!), kami semua jatuh tertidur selama perjalanan +- 3 jam, ditambah kemacetan Kota Jogja di kala weekend. Bangun-bangun, Candi Prambanan telah siap menyambut! Bagiku ini adalah kunjungan kedua di Candi Prambanan, jadi bisa sok-sok paham dan berpengalaman menunjukkan kawasan candi yang cukup luas kepada tiga pendatang baru lainnya. Tiket yang kami beli adalah tiket terusan Prambanan-Ratu Boko, karena sejak awal tujuannya adalah sunset hunting di Ratu Boko. Sayang sekali tanggal 18 Oktober kemarin itu Candi Siwa yang terbesar disana tengah dipugar, membuat kami tidak bisa masuk untuk melihat langsung keempat arca di dalamnya. Ya sudahlah, masih ada museum, taman rusa & kasuari, serta Candi Lumbung yang bisa sedikit mengobati kekecewaan.


Candi Lumbung
Beginilah jalan-jalan versi Instagrammers, masing-masing sibuk hunting foto sendiri :')
Mobil yang hanya disewa selama 12 jam akhirnya mengantarkan kami kembali ke homestay. Untuk malam minggu ini kami malah tidak punya rencana untuk keliling kota lagi. Alhasil aku segera jatuh tertidur dan baru terbangun sekitar jam delapan malam dalam keadaan kelaparan. Aldo, Kunto, dan Yuangga yang sebelumnya jajan di warkop dekat homestay juga ternyata masih lapar. Syukurlah ada lima bungkus mie instant dan empat butir telur yang dibeli kemarin sepulangnya dari Alkid. Berasa hidup ala anak kos lagi...


Penyelamat hidup :')

Hari Minggu, 19 Oktober 2014, sang nyonya rumah menjemput kami sekitar jam delapan pagi untuk akhirnya jalan-jalan bersama. Lia, yang sebelumnya sempat bimbang, telah menyetujui untuk menyetir hingga ke Magelang demi menyambangi Candi Borobudur. Yeyyyy, makasih Lia! :* 


Borobudur di hari Minggu.... nyesek!





Borobudur di hari Minggu berarti keramaian + penuh rombongan anak-anak usia sekolah dasar. Walau demikian, kami happy-happy saja berwisata di sana, apalagi aku yang kini punya teman sejenis (wanita.red) sehingga bisa lepas sejenak dari pria-pria itu. Hahaha! Pada dasarnya, kebutuhan wanita dan pria itu memang berbeda sih. Bisa mengobrol tentang hal-hal tidak penting, berfoto selfie dengan berbagai gaya dan pose berkali-kali, serta saling memotretkan diri secara naluriah tanpa diminta, adalah hal-hal yang tidak selalu bisa aku dapatkan dari traveling bersama teman pria. Bersama Lia juga aku bisa merasakan kembali bagaimana kepala-kepala lelaki menoleh ketika kami melintas. Wkwkwk~ bukan, bukan, aku bukan "centil" atau sejenisnya, tapi ada sensasi yang berbeda saat menangkap basah mata pria yang sedang melirik kita. Ujung-ujungnya sih hanya akan jadi bahan cemoohan kami, padahal dalam hati bangga juga :p


Sang Nyonya Rumah :))
Dari Borobudur kami meluncur ke rumah makan Jejamuran yang menyajikan makanan berbahan jamur. Hal istimewa ketika teman kita yang mengemudikan mobil adalah semua berusaha agar tidak tertidur dalam perjalanan. Obrolan yang tidak pernah habis, lelucon-lelucon yang asal lempar, bahkan nyanyian-nyanyian sumbang mengiringi lagu dari radio terus mengisi keheningan dalam mobil. Kami menghargai Lia yang tengah berjuang mengemudi dan Kunto yang setia menjadi pengarah jalan dengan fasilitas GPS. Ini baru namanya kebersamaan! :D

Everything's mushroom!
The beverages
Tetap kudu harus mesti, selfie!

Persinggahan selanjutnya adalah Kalimilk Kaliurang, suatu cafe yang terkenal akan milk beverages-nya. Kok bisa ya? Padahal di lidahku rasa susunya biasa saja, tidak beda dengan susu-susu kotakan yang dijual di minimarket pada umumnya. Lia hanya mengantar kami ke Ratu Boko karena harus kembali ke rumah untuk suatu urusan, dan berjanji akan menjemput kami setelah maghrib. Yah, aku ditinggal lagi deh :(


Desain interiornya menarik :)
"Neneners"?? Hmmpft....
Ratu Boko yang telah terkenal hingga mancanegara tentu saja ramai pengunjung, apalagi di hari Minggu seperti saat ini. Kepesimisanku tentu saja terbukti akhirnya dimana kami tidak bisa mengambil sunset yang spektakuler karena banyaknya orang yang berlalu lalang di seluruh bagian candi.



Situs Ratu Boko ini memiliki luas kompleks sekitar 25 hektare dan berketinggian 196 mdpl. Berbeda dengan peninggalan purbakala lainnya, situs ini berbentuk kompleks yang lengkap dengan gerbang masuk, pendopo, tempat tinggal, kolam pemandian, hingga pagar pelindung. Bahkan di sisi selatan terdapat "tempat kremasi", yang kemungkinan besar menjadi altar untuk pembakaran sesajen. Tampaknya, kompleks ini kemudian diubah menjadi keraton dilengkapi benteng pertahanan yang terdiri atas tumpukan beratus-ratus batu. Bangunan di atas bukit ini dijadikan kubu pertahanan dalam pertempuran perebutan kekuasaan di kemudian hari. (source: Wikipedia)







Oh ya, ada satu bagian candi yang ternyata tidak boleh dimasuki oleh pengunjung. "Candi Batu Putih" yang terletak sekitar 25 meter dari gapura kedua, tidak jauh dari Candi Pembakaran. Anehnya, tidak dipasang tanda larangan di sana. I mean, if there was a sign seperti di Candi Prambanan yang banyak dipasang "Keluar Lewat Sini", layak-layak saja jika pengunjung yang membandel atau tidak membaca petunjuk ditegur oleh satpam. Terang saja aku merasa didzolimi saat si satpam meniup peluitnya dengan superkencang melihat aku hendak mendaratkan kaki di bagian candi terlarang itu. Mana aku tahu kalo disitu tidak boleh dimasuki? Ckck. Untung saja aku terlatih memasang muka tebal sehingga menyelamatkanku dari rasa malu ketika dipandangi ratusan kepala dari berbagai arah. So readers, I'm letting you know this because I don't want you to feel the same thing as I did

Destinasi terakhir hari ini adalah berburu Indomie sesuai gambar bungkusnya di Mie Persis Telap 12. Sejak tahun lalu aku sudah mendengar nama warung makan ini disebut-sebut karena speciality-nya itu, akhirnya sekarang bisa kesampaian. Karena sok-sokan ingin mencoba sesuatu yang unik, aku pun memesan Indomie Cakalang untuk membuktikan apakah mereka benar-benar menggunakan daging Ikan Cakalang. Ternyata varian yang satu ini terasa superpedas di lidahku! Boro-boro mengecap daging ikannya, aku hampir tidak bisa menelan suapan mie yang ketiga karena tidak kuat pedas. Well, I really am not that Manadonese sih, readers.



Hari yang indah ini pun berakhir. Terima kasih banyak Lia yang sudah bekerja keras hari ini. Kamu tetap cantik memesona kok walau belum mandi (sore hari ini) huahaha~

Sebagai kompensasi atas ketidaktiduran sepanjang perjalanan hari ini, kami tidur tanpa memasang alarm lebih dulu alias boleh bangun jam berapa saja mengingat besok adalah hari terakhir dan hanya tinggal satu tempat wisata yang perlu dikunjungi. Sepertinya tubuh ini sudah terbiasa untuk bangun di bawah jam sembilan, karena ujung-ujungnya kami semua terbangun sekitar jam delapan meski akhirnya bermalas-malasan dulu di kasur hingga jam sembilan. Setelah mandi, packing, dan membereskan kamar, kami pun pamit kepada penjaga homestay serta minta izin menitipkan barang untuk nanti dijemput kembali. Tempat wisata terakhir ini adalah Tamansari, sebuah istana kuno yang populer dengan pemandiannya. 


Berfoto di Kampung Cyber, sebuah pemukiman warga yang mengelilingi komplek Tamansari
Menuju Tamansari dari penginapan kami di Pokteng Kulon agak sedikit membingungkan karena letaknya yang tersembunyi diantara rumah-rumah warga. Tidak ada pintu masuk yang khusus seperti yang kubayangkan. Kami malah melintasi halaman warga untuk bisa masuk ke pemandiannya.






Karena panasnya sinar matahari kala itu, kami tidak berniat untuk tinggal lama-lama di Tamansari. Namun akhirnya, kami malah berputar-putar dan memasuki begitu banyak bagian keraton yang sebenarnya tidak begitu menarik perhatian kami. Tanpa guide atau teman yang berpengalaman, dijamin pasti akan tersesat di komplek ini.

Setelah perjuangan keras dengan berpeluh keringat (literally!), kami menemukan dua bagian yang paling dinantikan: terowongan tempat lokasi syuting video klip Hello Band. Terlihat jelas bahwa terowongan ini merupakan terowongan bawah air yang merupakan jalan masuk menuju Pulo Kenongo, dengan menggunakan sampan/perahu.



Dan akhirnya... Sumur Gemuling! Ini adalah sebuah bangunan berbentuk lingkaran seperti cincin dengan dua tingkat yang hanya dapat dimasuki melalui terowongan bawah air saja. Sumur Gumuling pada masanya juga difungsikan sebagai masjid. Inilah yang disebut-sebut orang "Masjid Bawah Tanah" setiap kali kami menanyakan arah. Nah, di kedua tingkat dapat ditemukan ceruk di dinding yang konon digunakan sebagai mihrab, tempat imam memimpin salat. Di bagian tengah bangunan yang terbuka, terdapat empat buah jenjang naik dan bertemu di bagian tengah. Dari pertemuan keempat jenjang tersebut terdapat satu jenjang lagi yang menuju lantai dua. Di bawah pertemuan empat jenjang tersebut terdapat kolam kecil yang konon digunakan untuk berwudhu. (source: Wikipedia)


Entah apa jadinya kami tanpa GPS. Hampir seluruh perjalanan kami bergantung pada bantuan pengarahan si GPS ini. Awalnya aku ingin mengajak rombongan ke keraton, tapi ternyata jalan kaki kesana butuh waktu hampir sejam. Kami pun mengalihkan rute ke Museum Vredeburg yang hanya berjarak 20 menit dari Tamansari. Pilihan yang sepertinya harus disesali karena panas terik matahari menyengat kami tanpa ampun sehingga jarak tempuh rasanya bertambah dua kali lipat dari yang ditunjukkan GPS. Padahal kami sempat berhenti membeli air minum dan oleh-oleh di toko bakpia Raminten tidak jauh dari kawasan Vredeburg. Menemukan pohon rindang di depan istana kesultanan rasanya seperti menemukan oase di padang gurun. Kami menghabiskan setengah jam disana sebelum masuk ke museum di seberang. Satu hal memalukan yang harus kuakui sebagai Putri Museum Indonesia.... aku lupa bahwa hari Senin adalah hari tutupnya museum se-Indonesia! Astaga. Hmm, sebenarnya sempat terbersit juga pagi ini, tapi melihat bahwa Tamansari tetap buka di hari Senin ini, aku setengah berharap juga Benteng Vredeburg dibuka meski hari ini adalah Senin. Ya, begitulah, readers, kami menghabiskan 20 menit jalan kaki panas-panasan hanya untuk berfoto di depan museum dan tanaman bonsai (di dalam museum sedang ada Pameran Bonsai). Untunglah pulangnya tinggal mencegat TransJogja yang hanya berjarak 3 shelter untuk menuju Pokteng Kulon.



Terima kasih banyak, Jogja, untuk kenangan indah lain yang aku peroleh! Kau memang tidak akan pernah sepi, tapi aku doakan semoga harga makananmu tetap terus merakyat ya! Mari kita berangkat ke Semarang, kota terakhir penutup penjelajahan Trip Tiga Provinsi. :)

PS. Hasil dari perdebatan "Yogya vs Jogja" antara kami berlima kemarin, tercetus bahwa untuk menyebutkan secara lengkap kita menggunakan "Y" alias Yogyakarta, dan "J" untuk "Jogja" saja, jadi readers jangan protes ya atas kelabilanku dalam menulis ulasan, hehehe...

PPS. Daftar Pengeluaran di Yogyakarta (share cost 4 orang)
makan malam di RM Medan*             Rp29.000
jajan Pop Ice di Alkid*                    Rp4.000
beli mie instant & telur            Rp4.000
laundry dekat homestay*                  Rp13.000
Sewa mobil + supir 12 jam                 Rp50.000
Beli bensin + makan supir                 Rp45.000
HTM Pantai Indrayanti + parkir         Rp11.500
jajan cilok di pantai                       Rp2.000
makan mie di Gunkid*                    Rp9.500
HTM Prambanan-Ratu Boko + parkir   Rp46.500
kangkung untuk makanan rusa*       Rp2.000
minum kelapa muda di Prambanan* Rp10.000
jajan pisang bakar di warkop*           Rp21.000
HTM Candi Borobudur                      Rp30.000
makan siang di Jejamuran*               Rp25.000
jajan di Kalimilk*                             Rp15.000
makan malam Mie Persis Telap*         Rp16.000
brunch di dekat Tamansari*             Rp8.500
beli sale pisang di Raminten*             Rp13.000
TransJogja                                    Rp3.000
makan siang di Pokteng Kulon*        Rp8.500
Travel DayTrans ke Semarang           Rp65.000
Total Fixed Cost Rp251.000
Total FC + Personal Cost(*)  Rp431.500

Total biaya trip: Rp217.000 + 365.500 + 251.000 = Rp833.500,-

0 testimonial:

Post a Comment