March 09, 2015

Tebing Keraton dan Stone Garden - A Weekend Getaway

Halo, readers! Apa kabar? Semoga baik-baik saja ya, meski dirundung kegalauan dan kesuntukan akibat menumpuknya kerjaan di kantor. Hmmm, memang dua alasan itu yang menjadi salah satu faktor utama dilaksanakannya weekend getaway trip kali ini. Kenapa ke Bandung? Awalnya kami memang berencana main ke Bandung sekaligus menghadiri pernikahan seorang teman satu almamater kampus. Singkat cerita, jadwal berganti ke Plan B sehingga kami baru bisa menyambangi Bandung pada 27 Februari - 1 Maret 2015 yang lalu.


The amazing Stone Garden

"Kami"? Iya, "kami" consists of aku dan Septiyan Andy Prasetya (read: Asep) yang telah membulatkan tekad untuk kabur ke Bandung selama 3D2N. Aku yang telah membeli dua tiket kereta untuk hari Jumat malam terpaksa merelakan satu tiket seharga Rp100.000,- itu hangus, karena aku harus berangkat duluan ke Bandung untuk tugas kantor. Asep kemudian menyusul sesuai jadwal dari Gambir dan baru tiba di Stasiun Bandung pukul 23.00 WIB. Lucky him for being able to lay down on the seats hahaha~


Sabtu, 28 Februari 2015

Karena kesiangan, alhasil kami telat sejam dari rencana awal yaitu berangkat pukul 04.00 WIB menuju Tebing Keraton. Di satu sisi, hal ini merupakan keputusan yang tepat karena pukul 05.00 pun langit masih saja gelap. Jalanan yang kami lewati menuju Tebing Keraton sepi dan agak 'primitif' dengan batu dan kerikil yang menjadi struktur utama pembentuk jalan. Wuih~ cukup kaget ketika melihat motor-motor matic bisa melewati medan ini dengan sukses. Aku pribadi sih akan lebih menyarankan membawa motor bebek, yang memang telah teruji kemampuannya di medan hampir-off-road ini.

Kami kaget juga melihat ramainya pengunjung di Sabtu pagi ini. Padahal sepanjang perjalanan kami merasa sunyi-sepi-sendiri, eh, ternyata sudah banyak saja peminat Tebing Keraton. Sekitar 1 KM dari lokasi utama Tebing Keraton, kita akan bertemu dengan rombongan tukang ojek yang menawarkan jasanya bagi para pengunjung yang bermobil. Iya, mobil-mobil memang harus berhenti sampai disini saja karena medannya yang semakin rusak dan sempit. Para pemobil ini pun harus memilih, apakah lanjut dengan ojek (yang beberapa bahkan nekat bonceng tiga!) atau trekking santai dengan jalanan yang menanjak.

Di gerbang masuk lokasi, pengunjung akan dikenai retribusi sebesar Rp11.000,- Tenang saja, ini memang retribusi kok. Terbukti dari adanya karcis resmi dan plang atas namapemda. Jadi ini bukan pemalakan dari warga sekitar. Harga ini juga sudah termasuk ongkos parkir motor. Dari pintu masuk menuju spot terbaik hanya butuh +- 5 menit jalan kaki dengan rute trekking mengikuti paving blok saja. Jangan khawatir.






Readers, pemandangan di atas itulah yang kami temukan pertama kali. Manusia dimana-mana! Aaahh, jujur saja aku langsung kecil hati pada pemandangan ini. Aku mengharapkan ketenangan, atau setidaknya suasana hening seperti di Seruni Point Pananjakan Bromo (read here). Apalah artinya sebuah mimpi, terutama mimpi di kota besar yang hanya berjarak 3 jam dari ibukota Negara Indonesia. Toh Tebing Keraton ini memang tengah menjadi bahan pembicaraan di berbagai sosial media. Aku sendiri salah satu korban penyebaran virusnya :')








Partner trip-ku dengan begitu pekanya langsung mencari spot lain yang lebih sepi. Ya, kami sama-sama enggan jika harus mengantri di belakang makhluk-makhluk ini hanya demi berfoto dengan latar kota Bandung berselimutkan kabut. Bukan karena kami benci mengantri. Kami hanya tidak suka dengan kelakuan pengunjung yang seenaknya merokok, minum, dan makan lalu membuang sampah (dan asap rokoknya) sembarangan, tanpa peduli orang lain. Beberapa geng/grup bahkan dengan sengaja meletakkan barang-barang logistik mereka di sekelilingnya seakan-akan telah mencap lokasi itu sebagai hak milik, jadi orang lain tidak perlu bersusah-susah antri toh mereka akan tetap di situ.

Satu hal yang baru kusadari sekarang (sementara mengetik tulisan ini) adalah, there was no foreigner di sana. Benar-benar tidak ada. Wah, padahal kami berpapasan dengan banyak turis asing dalam perjalanan menuju kesini. Apakah mereka ada di sisi lain Tebing Keraton, ataukah mereka langsung pulang begitu melihat rombongan imigran alay tumplek disini, itu akan tetap jadi misteri.


Manusia menumpuk di ujung Tebing Keraton demi mengambil foto dari spot terbaik. Ugh.

Lelah berjuang di sela-sela kerumunan manusia yang masih belum berhenti bertambah seiring semakin tingginya matahari, kami memutuskan kembali ke hotel untuk sarapan. Sekadar informasi, kami menginap di Hotel Bukit Dago yang cuma berjarak setengah jam dari Tebing Keraton. To read more about this hotel, please visit TripAdvisor and find my review there. Curiousity can kill the cat, right? ;)

Setelah sarapan dan check out, Asep yang masih kelaparan menyeretku ke restoran yang kami temukan di blog tetangga. Menurut blog tersebut, kami akan disajikan pemandangan seindah Tebing Keraton selagi menikmati makanan. Benar saja! Bahkan kami bisa lebih santai memandangi keindahan itu karena suasananya lebih sepi, dan kabut mulai menghilang pada siang hari. Eh, tidak begitu "sepi" juga sih karena 20 menit kemudian serombongan bapak-ibu (yang sepertinya hendak arisan) datang mengusik keheningan itu. Baiklah. Mungkin kami memang harus konsen menikmati makanan De Tuik Resto & Resort ini, dan bukannya sibuk foto-foto.








Satu hal yang lupa diceritakan oleh sang penulis blog: makanannya benar-benar lezat! Entah karena kami yang memang lapar dan baru saja dikecewakan oleh sarapan super-seadanya di hotel ataukah kehebatan koki restoran ini, lidah kami dimanjakan oleh makan siang kali ini. Bukan hanya lidah, dompet pun ikut bernapas lega. Harganya sesuai dengan standar hidup a la pegawai-baru-yang-belum-bergaji-penuh-namun-punya-selera-tinggi-terhadap-kuliner. Kami hanya menghabiskan Rp150.000-an untuk sepiring spaghetti, semangkuk bakso hangat, degan segar, es buah campur (atau es teler ya?), dan segelas mixed juice yang mengenyangkan.




I'm biting my lips now.... :9

Sebenarnya, itinerary yang kususun menjadwalkan bahwa kami harus segera bertolak ke daerah Cimahi agar bisa menikmati Stone Garden di sore hari, syukur-syukur bisa bertemu sunset. Ternyata beberapa hari belakangan ini Bandung rajin diguyur hujan pada waktu sore, sehingga aku langsung mengubah jadwal yang membuat kami kosong untuk Sabtu sore ini. Dan sesuai perkiraan, rintik-rintik hujan mulai turun dengan manjanya ketika piring-piring kami mulai bersih dari makanan. Haphaphap~ aku dan Asep bergegas kabur menuju tempat perlindungan kami dari hujan: rumah tanteku di Jalan BKR.


What do we do for Saturday night in Bandung? Main ke mall! Hehehe. Beginilah liburan kolaborasi seorang traveler dan seorang movie freak. Nonton "Focus"-nya Will Smith, ngemil D'Crepes, keliling Trans Studio Mall, masuk bentar ke Trans Studio cuma untuk foto dengan replika Menara Eiffel-nya, that was our Satnite. Seru. :) Buat yang belum nonton "Focus" sangat sangat direkomendasikan ya, readers, aku langsung jatuh cinta dengan alur ceritanya yang anti-mainstream dan surprisingly bikin orang curious di setiap adegannya. Selanjutnya, dari TSM kami menjemput mobil sewaan di daerah Cikutra kemudian menuju Hotel Sepuluh Lingkar Selatan yang akan menjadi tempat bermalam.




Mau cerita aja nih, readers, perjuangan kami memperoleh mobil sewaan cukup berliku juga *azek* Di internet memang banyak tersebar iklan rental mobil Bandung dengan berbagai harga dan tawaran, tapi aku tidak bisa menemukan satu rental yang mau menyewakan hanya mobil saja. Kalaupun ada, mereka meminta berbagai macam persyaratan untuk jaminan, seperti STNK motor (?) dan Kartu Keluarga asli *halooo, ya kali gue liburan bawa-bawa KK asli :/* Disinilah networking dibutuhkan! Hahaha, tanpa koneksi dari (calon) tanteku, mungkin kami akan nekat motoran ke Cimahi sana. :(

Oh ya, satu hal lagi: isilah bensin secukupnya! Rp100.000,- sudah bisa memacu mobil kalian untuk PP Bandung-Cimahi (tanpa banyak persinggahan). Jangan mengikuti jejakku yang 'pintar' ini: mengisi full-tank hanya untuk perjalanan Bandung-Cimahi-keliling Bandung selama 18 jam. Kembalikan uang saya, Kapten!

Minggu, 1 Maret 2015

Karena telah sepakat dengan jam bangun yang lebih realistis dari hari sebelumnya, kami kali ini berangkat sesuai jadwal. Asep sukses membangunkanku untuk segera packing dan siap-siap menuju Cimahi. Ya, kali ini kami langsung check-out dari hotel just in case tidak bisa kembali tepat pukul 12.00 dan menghindari denda.


Salah satu bongkahan batu/bukit bagian dari Stone Garden, dilihat dari pelataran parkir di bawah

Baru setengah perjalanan mendaki ke Stone Garden

Kabut dimana-mana disertai asap hitam dari kegiatan pertambangan

Menuju ke Stone Garden yang juga tengah hits di kalangan penggila Instagram ini, kami kembali mempercayakan nasib ke tangan Mbak Jime alias Jimeps alias GMaps. *sembah Google!*
Cukup input keyword search "Goa Pawon, Cipatat" dan Mbak Jime pun akan mengarahkan jalan menuju lokasi dengan selamat sejahtera. Kok "Goa Pawon"? Jadi, lokasi Stone Garden ini berada di atas Goa Pawon. Dari tempat parkir, kita tinggal memilih jalan mendaki ke atas jika ingin ke Stone Garden. Jalanannya adalah trekking membelah kebun dan hutan mini, dengan jalan tanah yang liat dan becek akibat hujan semalam suntuk. Here we go!


Menemukan goa kecil yang berstruktur menarik

And.... here it is! Pemandangan memukau Stone Garden setelah kelelahan mendaki jalanan liat yang nampaknya tidak akan berujung itu. Pada satu titik kita akan menemukan jejeran kios pedagang (yang baru buka sekitar pukul 07.00 WIB) dan jalan akan bercabang dua, ke kiri dan kanan. Pilihlah jalan ke kiri, meskipun pemandangan di sebelah kanan lebih memesona. Bongkahan bukit yang besar dan megah itu memang sangat menarik, tapi hampir mustahil untuk mendakinya karena jalur trekkingnya hampir mendatar (vertikal) dan licin karena hujan. Jadi pilihlah yang aman.

Meskipun di bawah kita telah membayar Rp6.500,- untuk retribusi, toh kita tetap harus menambah lagi bayaran Rp3.000,- per orang disini. Katanya sih untuk biaya kebersihan Stone Garden yang nyatanya kotor dan penuh dedaunan kering sisa pembakaran (atau kebakaran lahan?). Ternyata kita diperbolehkan memasang tenda disini untuk bermalam. Wah, keren juga ya.








Selamat mencari lokasi terbaik! Stone Garden yang begitu luas dan berbatu-batu ini punya pesona sendiri di setiap sudut lokasinya. Mau latar belakang kota Cimahi? Bisa! Mau latar belakang hutan berkabut? Bisa! mau latar belakang bebatuan berserakkan dengan sedikit asap tipis yang semakin menambah keeksotisan langit biru? Tentu saja bisa! Tentunya harus tetap hati-hati melangkah, karena meskipun hanya berketinggian +-900 mdpl, ngeri juga jika membayangkan ada yang terjatuh berguling-guling ke bawah sana. Selain kami, saat itu ada dua rombongan yang bermalam disana (dengan tendanya masih berdiri kokoh) dan beberapa rombongan kecil yang asik memanjati batu-batu besar untuk mencari spot bernarsis ria.


Tenda dan sunrise. Imagine waking up to this scene... peaceful and beautiful.



Meninggalkan Stone Garden, kami sempat beristirahat sejenak untuk minum teh super-manis di salah satu warung sambil membersihkan sepatu dari tanah liat. Pantasan saja kaki ini terasa semakin berat untuk melangkah, ternyata ada parasit yang menempel :p

Sementara istirahat, aku sempat dibuat terpesona oleh sekelompok kecil cyclist yang benar-benar bersepeda dari bawah hingga puncak Stone Garden ini. Wow. Aku saja tidak pernah betah bersepeda lama-lama, apalagi jika harus melalui medan seekstrim ini ya. Passion is really the only thing that keeps us alive. Aku yang terheran-heran melihat cyclist ini mungkin juga pernah dipandangi dengan heran oleh orang-orang di luar sana. Seseorang yang menabung dan menghabiskannya hanya untuk jalan-jalan keliling Indonesia. Seseorang yang bisa menghabiskan waktu berjam-jam di satu lokasi hanya untuk mencari angle dan view terbaik suatu pemandangan. Everyone has his/her own passion(s), right? :) Find out yours, and you'll know the true beauty in living life.






Seiring dengan khatamnya kunjungan ke Stone Garden ini, selesai sudahlah petualangan kami di Bandung! Sebenarnya memang cuma dua spot itu yang kami cari, selain Bukit Moko yang telah dicoret dari itinerary karena keadaan cuaca yang tidak memungkinkan. Kami kembali ke Bandung untuk menunaikan hasrat mencicipi 'badai keju' di Madtari (dan kekenyangan sampai-sampai harus dibungkus) serta bertemu Glisera, teman Asep semasa SMA yang kini berdomisili di Bandung. Makasih banyak, Sera, sudah menemani belanja oleh-oleh! Nanti gantian main ke Jakarta, yah! :3


Cheese madness in Madtari

Time goes so fast, indeed. Rasanya baru kemarin aku heboh memesan tiket kereta dan menyusun itinerary, eh, sekarang kami sudah harus duduk manis di dalam Argo Parahyangan yang akan membawa kami kembali ke Jakarta. Untuk review singkatnya, trip kali ini bernilai 8 out of 10 dinilai dari aspek lokasi, akomodasi, dan keadaan tubuh selama nge-trip. Bandung yang macet dimana-mana sukses membuat kaki kiri Asep mati rasa karena bermain kopling seharian. Ah, maaf ya, Sep, semoga kali berikutnya bisa gantian menangani stir dan kopling itu :") *brb bayar SIM A* || *dan SIM C* || *ya ampun aku modal KTP doang :(*

Sampai jumpa lagi, Bandung! Semoga bisa menyambangi Bukit Moko-mu kali berikut, dengan cuaca yang lebih cerah dan kondisi jalanan yang lebih bersahabat ya. Hello Jakarta, hello reality!

12 comments:

  1. Tebing keraton sudah pernah kesitu, kalau stone garden baru dengen ini. Pengen kesitu juga jadinya :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Monggo monggo dijajal :) kalo ada waktu luang, dikunjungi juga ya Gua Pawon nya gan. Selamat bepergian!

      Delete
  2. tapi kalau dijalan perkotaan pas mau ke stone garden/tebing keraton kira kira ada razia polisi ga ya gan ? ma'lum lah bikin sim nya setaun lagi hehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. jalan kota pasti ada polisi gan.. waktu ke Tebing Keraton, ane nginep di Dago, jadi ga perlu lewat jalan raya gitu. gak ketemu polisi deh.

      nah pas ke Stone Garden kan lewat tol ya, otomatis ada polisi gan haha

      Delete
  3. Mas kalo dari tebing keraton ke stone garden perkiraan naik mobil brp jam ya?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Tebing Keraton ke Dago 30 menit, Dago ke Stone Garden 1,5 jam. Sekitar 2 jam lah kalo naik tol, tergantung kemacetan Dago juga :)

      Delete
  4. Do you mind if I quote a few of your articles as long as I
    provide credit and sources back to your webpage? My blog site is in the exact same
    area of interest as yours and my users would
    certainly benefit from some of the information you provide here.
    Please let me know if this alright with you.
    Appreciate it!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sure! Your intention to put credits is much appreciated :)

      Delete