March 19, 2017

Orangutan dan Sekonyer - TNTP Trip (Pt. 2)

Tiga hari di Tanjung Puting, ngapain aja tuh? Kalau di post sebelumnya "Klotok Bintang Lima" yang jadi highlight, untuk post kali ini aku akan menceritakan gimana rasanya mengarungi Sungai Sekonyer, kenapa sungai satu ini bisa masuk dalam novel ternama Dee Lestari bersanding dengan Machu Picchu, Himalaya, dan Stonehenge. Tentunya tak ketinggalan... pengalaman 'di-surprise-in' orangutan!

Orangutan, orang(kota), dan Sekonyer

DAY 2. 11 MARCH 2017.
Nggak di darat nggak di laut nggak di sungai, aku masih saja sulit bangun pagi hahaha. Kutemukan Cynthia, Yuangga, dan Abas tengah asik foto-foto berlatarkan cahaya fajar sendu. Indah banget, readers. Apalagi posisi klotok saat itu mengarah ke timur, sempurna untuk menanti sunrise. Cynthia bahkan sukses membuatku tergiur untuk turut dipotret, padahal muka ini masih berbekas garis-garis bantal. Mata bahkan masih dihinggapi belek 😆 Tenang saja, fotonya takkan ku-post kok ;)

Foto diambil sebelum pukul 06.00. Speechless

Obrolan pagi di ujung klotok

Sarapan nikmat, lengkap dengan sirup jeruknya!

Sejak semalam Mas Yusuf sibuk membuatkan kami gelang akar pohon ^^

Jarak dari tempat bermalam ke Pondok Tanggui cukup jauh, sekitar satu-dua jam lah. Masa penantian ini tentu saja kami isi dengan kegiatan yang sangat bermanfaat bagi seluruh rakyat Indonesia: sesi foto-foto! Hahaha. Cahaya mentari pagi yang begitu natural, memantul sangat indah di aliran Sungai Sekonyer yang juga begitu teduh. Ditambah hijaunya vegetasi sekeliling sungai, wuih~ ini baru namanya 'studio' foto paling mantap sedunia!





Yung, ngapain?




Hari kedua Tanjung Puting Trip adalah hari terakhir jalan-jalan makanya wajib menyiapkan energi lebih. Pertama-tama, kami akan berhenti di Pondok Tanggui. Tujuannya tak lain dan tak bukan, yah, untuk melihat orangutan lebih dekat lagi. Pos satu ini tidak memiliki pondok Pusat Informasi sebagaimana dua pos lain, Tanjung Harapan dan Camp Leakey.


Touchdown Pondok Tanggui

Di titik akhir jembatan kayu sederhana ini, kami terpaksa melepas alas kaki. Hujan yang turun pagi tadi menciptakan rawa-rawa yang cukup dalam dan becek. Let's get wet!

Nyeker menembus rawa kecil untuk mulai trekking hutan Pondok Tanggui

Feeding time di Pondok Tanggui adalah jam 9 pagi. Selama 20 menit kami trekking menembus hutan dengan jalur yang, menurut Mas Yusuf, beda dengan jalur umum. Ternyata banyak juga jalur trekking di hutan ini, terbukti saat di feeding area kami melihat pengunjung lain datang dari arah berbeda-beda. Tentunya Mas Yusuf memastikan bahwa jalur kami ini adalah yang tercepat, dan sering dilalui orangutan karena jarang dijamah turis.

Datang di bulan selain Juni-Agustus dan Desember berarti datang di musim sepi pengunjung. Kami pun menjadi orang pertama di feeding ground Pondok Tanggui. Karena masih tertipu jam internet, kami beranggapan bahwa sekarang sudah jam 9 alias ngaret dari waktu feeding. Ternyata memang kepagian sampai sempat baring-baring manja di kursi pengunjung saking bosan menunggu orangutan datang. Untunglah seorang bule (yang juga kami temui di Tanjung Harapan) dan guide-nya datang menemani kami, dunia jadi tak serasa milik pribadi lagi.


Bobo cantik menunggu orangutan

"Psstt... Mbak!" suara Mas Yusuf mengagetkan kami yang masih leyeh-leyeh. "Ada orangutan, yuk kita intip!"


Yang dinanti-nanti

Setengah berjinjit agar tidak menimbulkan suara, kami mengikuti langkah Mas Yusuf ke dalam hutan. Kali ini tanpa Abas, hahaha, doski terlanjur lelap di kursi kayu tadi. Gantinya Abas, Om Bule tadi justru ikut mengendap-endap walau tak mengerti bahasa yang kami gunakan. Mas Yusuf tetap ramah menjelaskan kepadanya dalam Bahasa Inggris saat kami akhirnya tiba di lokasi yang dimaksud. Seekor orangutan jantan sedang duduk di ketinggian pohon, seakan tahu bahwa sebentar lagi feeding time. Dia menanti kode dari para feeder yang asli, bukan kode asal bunyi dari kami yang sebelumnya kami gaungkan hahaha.

Petugas membersihkan panggung dari sampah makanan sebelumnya

Dibandingkan Tanjung Harapan, nampaknya orangutan Pondok Tanggui lebih 'ramah' dan tidak begitu takut dengan manusia. Terbukti dari feeding area yang dibangun lebih dekat dengan area penonton. Mereka juga tidak begitu terusik dengan suara seorang Ibu (guide) yang lumayan ribut dalam mengawasi anak balitanya mondar-mandir, ingin mendekat ke arah panggung dan orangutan. Duh dek, jangankan kamu, kami-kami yang orang dewasa ini aja penasaran banget pengen mendekati primata langka satu itu.





Karena hidup ini untuk makan, bukan makan untuk hidup. Eh?

Berbagai blog tentang Tanjung Puting (yang mayoritas justru berbahasa Inggris!) menceritakan tentang pengalaman menemukan tumbuhan pemakan serangga yang legendaris itu di hutan Pondok Tanggui. Sayang sekali kami tidak menemukannya, atau mungkin Mas Yusuf lupa nunjukkin ya, karena terlalu konsentrasi 'mencari' orangutan? Tak apalah. PR untuk kesempatan napak tilas tahun depan ;)

Naik klotok langsung disambut makan siang menggiurkan

Dari Pondok Tanggui, klotok kembali berlayar membelah arus Sungai Sekonyer. Kali ini kami menuju pusat rehabilitasi orangutan yang terakhir sekaligus terbesar di Tanjung Puting: Camp Leakey. Air sungai menjadi semakin hitam dan pekat. Meski terkesan menakutkan, suasana justru terasa sangat teduh. Sungai ini berwarna gelap karena adanya akar-akaran (entah gambut entah nipah) tumbuh subur di dasarnya.

Tak kalah dengan sirkuit Sepang, Sekonyer juga bisa jadi ajang balap (klotok)

Selain warna yang menjadi semakin gelap, luas sungai juga semakin menyempit. Pada beberapa titik, klotok melewati daerah sejenis rawa yang ditumbuhi tanaman air (bukan eceng gondok, kayaknya). Terbayang kalau dua klotok berpapasan disini, pasti salah satu klotok harus mengalah, menunggu kawannya lewat terlebih dahulu. Tenang saja... nggak seperti bajaj yang mesti didorong mundur, klotok bisa pasang gigi R kok, hehehe.

Klotok besar memuat puluhan 'turis' one-day-trip

Ini sungai kok bukan cermin

Where is Camp Leakey? Namanya memang terdengar asing dan kebarat-baratan, tapi ternyata ini adalah pos orangutan terakhir, terbesar, dan yang paling utama di Tanjung Puting ini. Saking utamanya, banyak perjalanan one day trip Tanjung Puting yang menuju Camp Leakey. What to do in Camp Leakey? Tentunya melihat orangutan di pos rehabilitasi. Cukup berbeda dengan pos-pos sebelumnya dimana kita hanya bisa puas melihat orangutan di feeding ground, di Camp Leakey kita justru berkesempatan ketemu orangutan langsung di dermaganya. Keren kan?

Pusat Informasi Camp Leakey

Begitu akrabnya dengan manusia, bahkan ada beberapa orangutan 'bandel' yang biasa naik ke klotok saat penghuninya lengah. Salah satu yang bandel ini namanya "Siswi", dan kami beruntung benar bisa bertemu dengan orangutan legendaris satu ini. Mas Yusuf menyebut Siswi dengan nama "Nenek Gayung" lho saking usilnya hahaha.

Kenalkan, ini namanya Siswi a.k.a "Nenek Gayung"

Nenek Gayung usil banget kan

Trus Ibu dan Anak ini nggak mau turun karena ditunggui Siswi di bawah pohon

Bukan ke Tanjung Puting namanya kalau tidak penuh dengan perjalanan menerobos hutan hujan tropis. Camp Leakey juga sama panas dan gerahnya, bedanya area hutan disini tampak lebih terbuka, mungkin karena lebih banyak aktivitas rehabilitasi di pusat terbesar ini. Beberapa sudut hutan pernah dijadikan feeding area, yang kemudian dipindah karena terlalu kecil, tidak mampu menampung jumlah orangutan serta pengunjung yang datang.

Kata orang, "Di kandang kuda meringkik, di kandang kambing mengembik". Di hutan(-nya orangutan)? Jangan berisik!

Beda dengan dua pusat rehabilitasi sebelumnya, feeding area di Camp Leakey ramai luar biasa berkat kehadiran rombongan ODT yang membuntuti kami dalam perjalanan. Mereka sudah duduk manis di bangku pilihan masing-masing, siap dengan berbagai jenis kamera untuk mengabadikan kedatangan orangutan.

Bersiap 'meluncur' ke feeding stage

Bukannya langsung menuju feeding ground, Mas Yusuf tiba-tiba berbelok masuk di antara pepohonan subur. Tangannya serta merta menunjuk ke puncak pohon. Barulah kami sadar ada seekor orangutan bergelayut di kejauhan, sedang menunggu momen yang tepat untuk mendekat ke panggung feeding. Asyik membidik orangutan itu, Mas Yusuf sekali lagi menunjuk ke arah lain: "Di atas Mbak ada gibbon."

Tampan kan?

Lebih kecil dibandingkan kawan kera lain, gibbon ini terlihat begitu anggun di ujung pohon tak jauh dari tempat aku berdiri. Kalau di kebun binatang (hush, jangan langsung main kesana ya! Say no to zoos!) gibbon biasanya paling menarik diantara primata lain karena lihai berakrobatik: lompat sana-lompat sini di sepanjang kerangkengnya. Wajahnya pun tampan karena dihiasi rambut-rambut putih yang kontras dengan bulu gelap di sekujur tubuhnya. Gibbon satu ini pun fotogenik, dia berhenti bergerak seakan tahu sedang dipotret banyak orang.



Untuk kali ini, kami kalah cepat dengan para feeder. Saat kami akhirnya duduk di kursi kayu (terdepan!) berbagai buah-buahan sudah tersaji di atas panggung, siap untuk dicomot oleh orangutan. Tentunya orangutan yang datang pertama kali adalah yang kami 'temukan' sebelumnya. Namanya Carlos, walau tampak berbadan besar dan berwajah garang, orangutan satu ini bukan sang "Raja". Raja di Camp Leakey bernama Tom. Dari foto-foto yang kami lihat di Pusat Informasi, Tom memang terlihat sangar dan menakutkan. Kami tidak heran jika dia menjadi jantan paling berkuasa di pusat rehabilitasi satu ini.

Carlos, si jantan nomor dua di Camp Leakey



Arisan ibu-ibu Dharma Betina

Ada babi hutan juga

Terpaku

Di sini aku juga bertemu dengan dua orang kawan semasa kuliah di kampus STAN: Ricky (1G 2010) dan Abay (2A 2011). Kalau tidak salah ingat, keduanya ditempatkan di Pangkalan Bun dan hari itu mereka ikut dalam tur ODT yang ternyata merupakan kumpulan pegawai se-kantor wilayah (kanwil) Kalimantan Tengah. Hahaha. Dunia seluas ini kok bisa-bisanya ketemu mereka di lokasi dan waktu yang sama!

Ricky dan Abay :))

Rombongan ODT Kanwil DJPB Kalimantan Tengah

Setelah hampir dua jam menontoni orangutan menikmati makan siang, kami berlima beranjak untuk kembali ke klotok. Sudah terbiasa dengan pemandangan hutan dan orangutan, kebosanan mulai melanda. Abas saja sempat jatuh tertidur selagi menonton feeding hahaha.

Tak disangka-sangka, baru beberapa meter meninggalkan feeding area... kami dipergoki dua ekor orangutan! Waaahhh senang banget rasanya. Aku seperti nostalgia saat bertemu komodo di tengah trekking. Kelakuanku pun sama persis dengan momen waktu itu: sigap berpose di belakang kedua primata untuk difotokan oleh Mas Yusuf. Sempat ada drama "memory card full" sih dari ponsel andalan Cynthia, tapi untunglah keberuntungan itu dapat direkam. Kyaaa, bahagianya!

Jangan pergi dong kalian :(

Nggak menyia-nyiakan kesempatan

Perjalanan balik ke dermaga kami tempuh dengan wajah sumringah berkat 'kepergok' orangutan yang berujung selfie dadakan. Aku juga masih geli-geli senang karena 'insiden' ketemu Ricky dan Abay. Dalam perjalanan kami juga bersua dengan segerombolan kera yang sedang mengunyah buah-buahan kecil, sepertinya untuk cemilan sore. Beda dengan teman-temannya di Uluwatu dan Air Terjun Grojogan Sewu, kera di Camp Leakey tidak begitu proaktif mendekati manusia. Tidak ada tuh kejadian 'pencopetan' kacamata atau benda-benda lain. Eh, apa mungkin karena mereka lagi asyik ngemil ya?




Usut punya usut, ternyata kasus 'pencopetan' itu justru terjadi di dermaga memasuki Camp Leakey dan pas sekali disaksikan Kapten klotok kami. Waaaah. Jadi ada orangutan yang mengusili salah satu peserta ODT tadi, dia mencoba merebut tas tangan dan makanan yang tengah dipegang Ibu Peserta tersebut. Keributan kecil pun tak terhindari. Untunglah ada yang bisa melerai, si orangutan melepaskan si Ibu Peserta, tapi tidak dengan makanan yang sudah sukses direbut.

Orangutan ini lah yang kami temukan (atau "menunggu kami"?) di dermaga dekat klotok yang siap lepas sauh. Orangutan Ibu dan Anak ini juga yang di awal kedatangan tadi sedang mengusili petugas Camp (dia merebut sekotak tisu dan membuang-buangnya dari atas pohon) tapi justru diusili balik oleh Siswi yang menunggui mereka di bawah pohon. Dia ada disini. Di dermaga. Di depan mata kami.

Tuh kan, ketemu orangutan di dermaga Camp Leakey

Kekuatan Emak-Emak jangan diragukan
"Dadah, Orangutan!" kami melambai-lambai pada dua ekor orangutan cantik yang masih berdiri di dermaga. Mata mereka mengikuti jalannya klotok, seakan bilang, "Hey kenapa aku ditinggal di sini?" Hati langsung terenyuh, ada desakan untuk menyuruh Kapten berhenti agar kami bisa mengajak dia turut serta naik ke atas klotok. Kami seakan lupa cerita Mas Yusuf bahwa orangutan Camp Leakey cerdik dan suka iseng. Hahaha. Semoga kita bisa temu kangen lagi ya!

Malam datang begitu cepat, padahal kami masih ingin kenalan sama orangutan (khususnya "para raja" di masing-masing pos) dan menyaksikan ajaibnya warna air Sungai Sekonyer. Masih pengen hidup di klotok trus menyanyikan satu album Payung Teduh sambil galau memandangi rintik hujan turun membasahi hutan Kalimantan. Kali ini aku tak melewatkan sunset terakhir di Tanjung Puting. Syahdu. Beda dengan sunset di pantai yang penuh hiruk-pikuk manusia berenang dan berjemur, kali ini hanya ramainya suara jangkrik dan orangutan/bekantan/monyet sahut-menyahut di kejauhan. Sesekali kami papasan juga dengan klotok atau perahu lain.

Sepanjang perjalanan berbalik dari Camp Leakey ke muara sungai Sekonyer, Mas Yusuf dan ... bahu-membahu 'mencari' buaya. Hujan sore tadi menyebabkan debit air sungai naik, begitupun kemungkinan bertemu buaya. Makanya kedua orang ini (sesekali dibantu Cynthia dengan headlamp-nya) terus menyoroti pohon nipah dan mangrove di tepi sungai, mengamati gerakan mencurigakan pertanda adanya buaya.

"Mbak, Mas, liat itu ada kunang-kunang!" Mas Yusuf pun menepati janjinya, mengajak kami bertemu kunang-kunang Tanjung Puting. Senangnya tak tergambarkan, readers. Biarpun leher sakit karena terus-terusan menoleh ke arah yang ditunjuk Mas Yusuf, kami semua excited melihat kelip kecil dari pohon tinggi yang dirubungi kunang-kunang. Bulan yang masih cerah lumayan menjadi penghalang untuk melihat lebih jelas makhluk-makhluk mini itu.

Usaha keras Mas Yusuf berbuah hasil. Kami menemukan sebatang pohon besar yang ramai dikelilingi pasukan ber-ultraviolet itu. Malam ini, kami bermalam di bawah gemerlapnya cahaya kunang-kunang! Cynthia pun mencetuskan ide menarik agar seluruh awak kapal makan di atas, bersama kami. Lesehan, pakai lilin, sambil ngobrol rame-rame... ini baru namanya orang Indonesia. Lupakan sendok, mari kita gunakan tangan agar nasi dan sambal terasa lebih nikmat.

DAY 3. 12 MARCH 2017.
Posisi tidur yang menghadap ke arah sungai membuat pagiku semakin indah. Begitu mata terbuka, jejeran pohon nipah dan mangrove disinari cahaya sendu sang fajar langsung menjadi obat 'cuci mata'-ku. Burung bersahut-sahutan, ditimpali suara hewan hutan lain di kejauhan, jadi pengganti bunyi knalpot yang biasa kunikmati di Jakarta sana. Nikmat Tuhan mana lagi yang kau dustai? 

Menikmati menit-menit terakhir bersama "Sang Guru"

Selesai sudah petualangan tiga hari tanpa sinyal di Tanjung Puting. Hidup tanpa sinyal ini benar-benar aku syukuri, kayak udah lamaaa~ banget hidup tenang tanpa diganggu bunyi notifikasi chat. Traveling benar-benar menikmati apa yang di depan mata, bukannya mikirin caption apa yang cocok dengan foto yang mana. Mengobrol secara nyata dengan tiga makhluk abnormal lain, atau menggali ilmu dari Mas Yusuf alih-alih kepo kegiatan teman lain di media sosial. Hati rasanya damai dan tentram, jauh dari segala drama politik di ibukota sana. Ah, jadi kangen Sungai Sekonyer kan~

Terima kasih ya, Pasukan OrangKota!
Terima kasih banyak sudah mampir, readers. Maafkan lambatnya proses penulisan trip review yang satu ini yah, semoga belum basi untuk ingatan kalian. Ayo angkat ransel segera, jangan tunggu sampai hutan Kalimantan dan orangutannya hanya tinggal dongeng fiktif belaka :)


EXPENSE LIST
Tiket Trigana Air CGK-PKN = Rp666.400,-
Paket Tanjung Puting Trip 3 hari = Rp1.700.000,-
Tiket Kalstar PKN-CGK = Rp628.000,-
TOTAL = Rp2.994.400,-


***

Saya mau mengungkapkan sukacita dan rasa syukur karena bisa menyambangi Tanjung Puting, dan bertemu orang keren kayak Mas Yusuf ini. Otaknya penuh ilmu tentang alam: hutan, orangutan, kapal, ekosistem sungai. Saya bahkan belajar "ilmu manusia" darinya yang sudah banyak menjamu pengunjung TNTP, yang mayoritas bule couple. Thank you, Mas Yusuf, I've never known a tour guide with such a big heart and mind like yours.

Full team

Terima kasih untuk: Bu Hana (sering kami sebut "Bu Siska Soewitomo") yang betul-betul memanjakan lidah kami dengan masakan dashyatnya; Sang Kapten yang nggak pernah protes saat kami keasyikan narsis di ujung haluan kapal, menghalangi jarak pandangnya; Mas Rio yang rapi dan teliti betul saat memasang kelambu, mengatur matras, menata meja makan, menyalakan keran air, semuanya! Next time saya ke TNTP lagi, pokoknya mau sama Mas Yusuf and the crew lagi.

Terima kasih banyak Mas, sukses selalu untuk kegiatan tourism agency, proyek eco-green, konservasi orangutan, semuanya. Kita pasti ketemu lagi

PS. Yang tergoda ke Tanjung Puting, langsung aja klik akun Facebook beliau ini. Nggak perlu lama-lama. Dijamin, paket wisata termurah se-Indonesia raya. Keep my words

0 testimonial:

Post a Comment