April 25, 2017

Arigatou Gozaimasu Tokyo - Japan Trip Part III

Finally, Tokyo! Salah satu kota paling hype di dunia. Sayang sekali aku dan Mama hanya punya waktu sehari di sini. Untunglah waktu sehari ini cukup bagi kami untuk menuntaskan misi "berburu Sakura" (dan buah tangan untuk keluarga dan sahabat tersayang) dengan menyambangi Asakusa, Shinjuku, Shibuya, dan Harajuku. Selamat menyimak! 👸 

Misi "Berburu Sakura" pun selesai di hari keempat!

DAY 5. 2 APRIL. TOKYO.
Bagaimana cara menikmati Tokyo dalam sehari saja? Dengan mencari tahu prioritas kalian. Trip aku dan Mama kan sudah jelas, ya, judulnya "Berburu Sakura" maka jelaslah kami memilih Shinjuku Gyoen sebagai tujuan utama. Sisanya? Sensoji Temple yang terletak persis di samping hotel, serta Shibuya-Harajuku untuk 'cuci mata' sekaligus melihat sisi Jepang yang katanya "anak gaul" banget itu.

Walau tidak sedingin dua kota sebelumnya, suhu udara Tokyo tetap saja bikin 'serangan jantung' di detik pertama keluar dari Via Inn Asakusa Hotel. Untunglah sudah menempelkan patch warmer di dalam sweater, lumayan terasa hangat. Sensoji Temple hanya berjarak sepelemparan duit (koin seribu rupiah jaman dulu yang buwerat bets itu) dari hotel. Jam 9 pagi sudah banyak saja pengunjung berkeliaran; setengahnya sibuk berfoto-foto, setengah lagi menjalankan ritual ibadah seperti membakar dupa, 'menyucikan' diri di Chozuya/Temizuya sebelum masuk dalam kuil, atau berdoa di altar -- tentu sambil sesekali dipotret oleh travelmate-nya hahaha. Warna merah pagoda 5 tingkat-nya sukses membangkitkan semangat untuk jalan-jalan hari terakhir di Jepang. 



Kuil Sensō-ji (金龍山浅草寺) adalah kuil Buddhism tertua di seantero Tokyo ((ound in 645 SM) yang dipersembahkan untuk Kannon/Guanyin, dewi pengampunan. Legendanya, patung Kannon ditemukan hanyut di Sumida River -- tak jauh dari Kuil Sensoji -- oleh dua orang nelayan. Si Kepala Desa yang mengenali patung dan mengakui kesuciannya kemudian memutuskan untuk merekonstruksi rumahnya sendiri menjadi suatu kuil kecil di Asakusa, tempat penduduk desanya dapat beribadah pada Kannon.

Selain bangunan kuil (pagoda dan altar), kawasan Sensoji memanjang luas dan jauh hingga ke jalan raya. Jalan masuk utama ke kuil disebut Kaminarimon atau Gerbang Petir dimana terdapat sebuah lampion keras ukuran raksasa yang dicat dalam warna merah dan hitam, melambangkan petir dan awan mendung. Melewati Kaminarimon, kita akan menemukan Nakamise Street (Dori) suatu gang sepanjang 250 meter dengan ±89 toko berada di kiri-kanannya. Setelahnya terdapat Hozomon atau Gerbang Rumah Harta yang menandai inner complex dari Kuil Sensoji.

Setiap aspek dari kawasan Sensoji ini sangat menarik untuk disinggahi. Dan tentunya... sangat instagrammable. Jadi pastikan kalian spare waktu cukup panjang untuk destinasi satu ini.


Spot foto favorit
Ada tiga spot favorit kami di kawasan Sensoji. Paling idola... apalagi kalau bukan yang ada pohon Sakuranya hehehe. Kuil Sensoji punya shidarezakura! Masih ingat kan apa shidarezakura? Boleh klik disini kalau sudah lupa hehehe *promosi*

Kata panjang nan asing itu adalah "weeping cherry tree", pohon Sakura dengan dahan menjuntai ke bawah. Saat musim semi mulai berakhir, kelopak Sakura akan berguguran jatuh dari dahan dan terlihat seperti air mata yang bertetesan, makanya dijuluki orang "pohon Sakura menangis". Well... mo' nangis kek, ketawa kek... pohon satu ini tetap kesukaan Mama dan aku! Kami menghabiskan waktu 15 menit sendiri untuk spot satu ini hahaha. Puji Tuhan ya punya Mama yang panjang sabar, dan mengerti hobi anak bungsunya ini.

Weeping cherry tree!

Kedua adalah Kaminarimon, lampion raksasa cantik yang selalu ramai peminat. Nih, kukasih satu tips penting bagaimana cara berfoto di Kaminarimon: ambillah foto dari sisi belakang gerbang/lampion. Sisi belakang ini maksudnya yang menghadap ke Nakamise-Dori. Soalnya di sisi depan/luar gerbang, puluhan orang yang sepertinya tak sabar ingin segera meng-update media sosialnya, sudah berkumpul untuk foto dengan icon Asakusa ini. Dijamin akan lebih banyak photobombing jika mengambil foto dari sisi yang bersebelahan langsung dengan jalan raya itu.

Si emak makin jago fotografi euy


Titik foto kesukaan kami yang terakhir adalah di tengah Nakamise-Dori dengan bangunan kuil sebagai latar. Bagus banget, tapi harus banyak bersabar karena jalan ini ramai banget. Akibat kurang sabar menunggu, aku dan Mama malah melebur dengan keramaian alias: berburu suvenir! Hahaha dasar wanita. Rupanya kegiatan jual-beli sepanjang Nakamise-Dori sudah berlangsung sejak awal abad 18, ketika para pedagang menjajakan barang-barangnya kepada pengunjung yang berziarah ke Sensoji. 

Ujung Nakamise-Dori yang dekat dengan kuil. Lebih sepi

Ngemil karena belum sarapan

Beberapa blog menyebut Nakamise-Dori sebagai salah satu tempat hunting oleh-oleh yang murah meriah, another reason why I chose Asakusa sebagai tempat menginap. Harga sewa penginapan di Asakusa juga terbilang lebih murah dibanding Shibuya, Shinjuku, Harajuku, dsj. Plus, Asakusa tidak sebising daerah-daerah yang kusebutkan tadi, jadi lebih nyaman juga buat beristirahat malam hari.

Window shopping

Kimono cantik dengan harga selangit

Tidak jauh dari Sensoji kami menemukan restoran kecil dengan menu dan harga yang menarik hati. Aku sudah belajar dari pengalaman hari kemarin, readers, jadi tidak akan meremehkan waktu makan siang lagi. Hahaha. Semakin bersyukur lagi karena restoran yang kami masuki ini menjual menu nasi, waaah~ ngidam langsung terpenuhi!

Enaknya pake "banget"

"De, nasinya Jepang ini enak banget ya," cetus Mama di sela-sela kesibukan menyuap nasi yang masih hangat mengepul. Benar juga sih, nasi yang kami temui di Jepang selalu terasa pulen dan matang sempurna. Beda lah ya sama nasi warteg yang sering ditemukan keras (kurang matang) dalam beberapa gigitan. Nasi Jepang yang saling "menempel" juga mempermudah untuk 'menyendok' dengan sumpit.

Satu tip untuk readers yang mau ngetrip sama orang tua, pastikan kalian membawa peralatan makan pribadi untuk beliau. Minimal sendok dan garpu. Apalagi saat trip ke negara pengonsumsi mie atau roti yang notabene memakai sumpit dan garpu-pisau.


Destinasi kedua dan yang paling dinanti-nantikan: Shinjuku Gyoen (新宿御苑), taman terluas dan terpopuler di Tokyo. Taman seluas 58,3 hektar ini terbagi dalam 3 konsep berbeda, English, French, dan Japanese style. Saking luasnya, aku dan Mama sampai tidak sempat explore ke seluruh area. Ehm sejujurnya kami bahkan tidak tahu saat itu sedang berada di area yang mana, yang kami tahu sakuranya indah banget! Yang aku ingat, kami masuk area taman dari Shinjuku Gate dan keluar dari Sendagaya Gate



Superwoman siapa nih kok tjantik banget?

Pantas saja Andreas -- teman seangkatan yang banyak banget ngasih info tentang wisata di Jepang -- langsung merekomendasikan taman nasional satu ini begitu tahu aku akan berburu sakura. Shinjuku Gyoen punya ±1.500 pohon sakura! Langsung kebayang kan gimana sumringahnya kami begitu masuk ke Shinjuku Gyoen. Menemani ribuan pohon sakura, terdapat juga pepohonan cedar Himalaya, tulip, cypress, dan Platanus yang begitu rindang, menambah semarak warna di seluruh taman.





Langit yang cerah berhasil membawa ribuan pengunjung taman untuk ber-hanami. Ada yang beruntung mendapat area hanami persis di bawah pohon sakura atau pohon besar lainnya, sisanya acuh saja menggelar tikar atau alas apapun di tanah lapang tengah-tengah pepohonan. Tak apa beratapkan matahari, yang penting bisa duduk santai sambil menikmati bekal piknik.

Ramai

Aku dan Mama pun tak mau ketinggalan. Berbekal sarong Bali dan snacks perbekalan dari Indonesia, kami turut merasakan euforia hanami. Di sebelah kami duduk satu keluarga besar dengan dua anak balitanya, girang berlari-lari sambil mengejar balon dari busa sabun yang ditiup oleh sang ayah. Wah, bahagia banget rasanya. Piknik berlatarkan sakura, checked!

"Tu foto sedapalia samua kukis neh, De. Supaya Mama pe tamang-tamang dapalia tu kukis Sari Gandum so sampe di Jepang, hehehe..." (Fotonya ngeliatin semua kue [snacks] ya, De. Supaya teman-teman Mama liat [kalo] kue Sari Gandum [ini] udah nyampe Jepang, hehehe...)


Pamer "Sari Gandum" hahaha



Busyet. Mamaku lebih gaul dari aku. Jumlah friends di Facebook aja 2 kali lipat jumlahku. Beliau bahkan sempat berniat mau live di Facebook chat, karena yakin pasti banyak teman yang menonton. Ajegile~

Piknik segera berakhir setelah sebungkus Sari Gandum Coklat (emang itu ya merk aslinya?) kulahap habis. Ditambah teriknya matahari yang mulai terasa menyakiti mata. Duh, manusia ya... giliran dikasih sinar mentari ngeluh panas, padahal waktu di Kyoto dingin membeku malah nyari panas dari heater buatan. Hahaha.

Dalam perjalanan keluar dari Shinjuku Gyoen, aku nekat 'menyetop' dua tante berwajah manis untuk minta foto. Tenaaaang... 'nyetop'-nya nggak sembarangan kok. Dari jauh mereka berdua terlihat anggun dan ramah, makanya aku berani minta foto. Ini juga demi memuaskan keinginan Mama untuk berfoto dengan orang lokal. Semakin pas karena kedua tante memakai kimono dan berdandan rapi kayak mau ke pesta martumpol

Maaf ya, Ma, cita-cita memakai kimono (dan hanbok) belum terpenuhi :(

Danau cantik dekat Sendagaya Gate
Pernah aku menemukan diskusi di forum Backpacker Dunia tentang "meminta bantuan kepada orang Jepang." Ini bukan menggeneralisasi ya, aku hanya ingin memaparkan hasil diskusi rekan-rekan sesama backpacker, ditambah pandangan pribadiku. Orang Jepang, dan Asia pada umumnya, selalu berusaha semampu mereka untuk membantu orang asing. Setidak mengerti apapun mereka terhadap bahasa kita, orang Jepang akan try their best to help us. Jika kita bertanya alamat, mereka akan mengantar kita hingga sejauh yang mereka bisa, lalu menunjuk-nunjuk ke arah yang sesuai. Jika mereka tidak tahu alamatnya juga, mereka akan menunjuk ke arah orang lain, atau meminta orang lain yang kira-kira tahu, untuk membantu kita. Semuanya ini dilakukan dalam bahasa tubuh ya. Memang belum banyak orang Jepang yang bisa lancar berbahasa Inggris.

Beda halnya saat kita minta tolong difotokan. Seperti teorema "tahu sama tahu", orang Jepang nampaknya mengerti bahwa "tolong fotoin" bukan hanya berarti satu kali jepretan. Tapi beberapa kali hingga kita puas dengan hasilnya. Oleh sebab itu banyak yang menghindar atau merasa terganggu jika dimintai bantuan untuk memfotokan.

Jadi gimana kalau pengen foto berdua, tapi nggak mau hanya selfie? Ya bawa tripod dong! Ribet banget hidup lo. AHAHAHA. Becanda, becandaaaa~ Triknya: lihat-lihat dulu orang di sekitar kita. Jika menemukan orang Jepang yang sedang bersantai a.k.a nganggur, coba dekati dengan senyuman (I'm a professional on this!) lalu berikan gestur memotret dengan kamera. Kalau sesama turis/non-penduduk Jepang? Yah pakai bahasa Inggris yang baik dan sopan saja.

Apabila permintaanmu diterima, jangan langsung girang dan memeluk doski sambil bercucuran airmata. Jangan atuh, dia bukan kekasih LDR kamu. Segeralah ambil posisi, jangan biarkan dia menunggu kalian berdandan atau mengatur gaya kelamaan. Jangan juga minta diambil foto dalam 46 kali pose. Kesiyan.

Sebaliknya, kalau permintaan kamu ditolak, jangan juga dibawa baper, trus update status di sosmed: "Baru sekarang ku mengerti rasanya ditolak..." Atuhlah lebay bener. Tetap senyum sambil bilang, "Makasih sudah nolak aku. Aku harap kamu bahagia bersamanya."

Anyway... ini hasil permintaan foto yang sukses. Bermodalkan senyum manis, aku dan Mama sukses merayu memohon bantuan seorang turis China yang lagi ngetrip sendirian. Ujung-ujungnya, si Koko malah mengajari kami untuk memotret dengan mode HDR. Wadaw. Durian runtuh!

Xie xie ni, Koko solo traveler asal Chengdu!


Puas jepret-jepret dan cekrak-cekrek di taman superluas ini, aku dan Mama melangkahkan kaki ke tujuan selanjutnya. Pertama-tama, aku mengkhatamkan cita-cita 'bertemu' patung Hachiko di depan stasiun Shibuya. Antrian foto dengan anjing Shiba Inu yang kesetiannya sudah mendunia itu sedang tidak terlalu ramai, aku gampang saja menyelip untuk berpose beberapa detik dengannya. Yeay! 


Selanjutnya aku mengajak Mama stop sejenak di pinggir jalan, menunggu crossing light berubah hijau. Apalagi kalau bukan untuk melihat arus penyeberangan ribuan manusia di Shibuya Crossing. Zebra cross paling ramai di dunia ini mulai diperbincangkan dunia semenjak menjadi latar pembuatan film Fast and Furious: Tokyo Drift. Puas mengambil gambar dan video dari pinggir jalan, kini saatnya kami masuk dalam keramaian itu. Gilak. Shibuya Crossing ini tepat banget digambarkan sebagai suatu jantung berdenyut, 'mengalirkan' ribuan penyeberang ke berbagai penjuru. Entah bagaimana caranya, dengan manusia datang dari segala arah, kami tetap bisa ber-zig-zag menghindari tubrukan dan tiba di ujung trotoar dengan selamat sejahtera. Wow. Emejing!


Shibuya Crossing: Before

Shibuya Crossing: After

Kami sempat memasuki sebuah department store besar di Shibuya, namun keluar lagi dengan tangan hampa. "Cari tempat belanja yang lain aja, De, jangan yang kayak gini-gini... Mahal," pinta beliau. Shibuya sebenarnya punya toko-toko yang affordable juga, hanya letaknya memang berseberangan dari lokasi kami saat itu. Tujuanku waktu itu mau mengajak Mama ke Loft, apa daya beliau sudah capek dari keliling Sensoji dan Shinjuku Gyoen. Makan siang di McDonald's Shibuya pun tidak mampu menambah semangat untuk lanjut keliling Tokyo. Yowes lah.

Harganya bikin sakit kepala

Takeshita-Dori di seberang Harajuku St.

Setelah singgah sebentar ke Harajuku (原宿) -- Takeshita Street rame gilak, itu gimana coba caranya bisa gerak -- untuk membeli beberapa oleh-oleh kekinian (untukku, si emak udah nggak tertarik lagi untuk ngapa-ngapain hahaha) kami pun mengakhiri One Day Trip in Tokyo di... Asakusa lagi. Kami berpencar di Nakamise-Dori untuk mencari suvenir sesuai selera masing-masing. Di sini jugalah akhirnya kutemukan snowglobe/snowball paling mahal dalam sejarah aku mengumpulkan koleksi, ¥1.800 untuk snowball Kuil Sensoji ukuran besar. Mahal banget ya ampun 😔

Nakamise-Dori buka sampai jam 8 malam

Kuil Sensoji selepas petang

"Malam ini, malam terakhir bagi kita... untuk mencurahkan rasa rindu dalam dada..." asek dangdutan dulu. (Buat yang nggak ngerti, itu lagu Om Rhoma Irama woy jangan bikin malu ah.)

Karena ini malam terakhir, aku memanfaatkan momen untuk jalan-jalan sendirian (Mama istirahat dulu di hotel) di sekitar Asakusa. Sekalian mencari tumbler Starbucks Tokyo versi Sakura untuk Bang Adi. Apa daya, tumbler ini sold out dimana-mana. Ubek-ubek ke seluruh Starbucks kawasan Asakusa juga tetap aja nggak nemu. Sedih.

Asakusa, tidak sepadat daerah hype Tokyo lainnya

Kaminarimon di malam hari tetap ramai wisatawan

Kesedihan ini kemudian terobati dengan hunting foto sepanjang Sungai Sumida dengan pemandangan Tokyo Skytree di seberang. Ketika jalan raya mulai sepi akan lalu lintas kendaraan, Sungai Sumida ternyata masih ramai oleh pasangan dan keluarga yang asyik duduk-duduk santai di bawah jejeran pohon Sakura. Duuuhh, boleh disini aja nggak, sampai 2017 selesai?





DAY 6-7 // 3-4 APRIL // TOKYO, MANILA, JAKARTA
Demi mengejar pesawat jam 9 pagi, Mama dan aku check-out dari hotel jam 4.30 dini hari. Sebisa mungkin kami mengacuhkan dingin yang menusuk tulang, dan berjalan cepat kearah stasiun untuk menuju Narita. Another important lesson about traveling in Japan: tidak semua stasiun mempunyai eskalator. Lift (elevator) memang ada tapi seringkali letaknya jauh dari entrance/exit stasiun. Atau dalam kasus kami, baru dinyalakan pada pukul 05.30 pagi. Kami jadi menenteng-nenteng koper untuk turun tangga stasiun, padahal jadwal kereta yang akan menuju Narita tinggal sebentar lagi. Tuhan masih melindungi dan menyertai perjalanan kami terbukti dengan bisa terkejarnya setiap kereta sesuai petunjuk Hyperdia. Sebelum jam 7 pagi, aku dan Mama telah tiba di Bandara Internasional Narita Terminal 2.

Check-in luggage sudah selesai, kini kami masih punya waktu satu jam sebelum boarding ke pesawat. Waktu singkat ini kami pergunakan untuk menghabiskan yen yang cukup banyak tersisa (karena banyak memanfaatkan JR Pass untuk transportasi, dan tidak masuk ke tempat wisata berbayar) dengan belanja di Uniqlo Bandara Narita serta beberapa toko Duty Free selepas imigrasi. Banyak belanjaan!

Perjalanan pulang ke Jakarta selanjutnya berjalan lancar-lancar saja, in spite of turbulensi kencang yang memang normal terjadi di area Jepang-Filipina itu. Untunglah cuaca masih cerah di luar jadinya Mama tidak sewas-was saat berangkat lalu. Transit di Manila pun mudah saja, tanpa melewati imigrasi lagi dan langsung duduk manis di gate. Tidak ada pemungutan terminal fee/airport tax lagi di sini, berbeda dengan saat transit di Cebu.

Karena harus overnight transit di Singapura, aku putuskan untuk memesan kamar di hotel Village Hotel Changi yang tidak begitu jauh dari bandara. Tapi si emak kayaknya rada trauma dengan pengalaman transit di Kuala Lumpur tahun lalu dimana kami bangun telat dan kejar-kejaran waktu dengan taksi. Beliau pun memutuskan untuk nginep saja di bandara, alias tidur ngemper di depan counters maskapai di Terminal 3. Waaah, aku pikir Mama tak akan mau diajak nggembel seperti itu. Keren banget kan Mamaku? ;)

---

Akhirnya selesai juga rangkaian cerita Japan Trip! Yihaa! *lempar confetti ke langit-langit* Aku ucapkan maaf yang sedalam-dalamnya ya, readers, telat menulis cerita perjalanan yang sudah hampir 2 bulan berlalu. Semoga nggak kapok menyimak kisah-kisah perjalanan seorang Erlinel 🙆

Salam manis dari dua perempuan jelita ;)

Itinerary dan expense list selengkapnya bisa kalian temukan di embed attachment dibawah ini ya. Selamat mempersiapkan rencana trip selanjutnya. Jangan lupa ngajak Mama-Papamu selagi mereka masih kuat diajak naik-turun tangga dan jalan kaki jauh! 😊


***

ITINERARY & EXPENSE LIST



1 comment:

  1. pengen ke Jepang ih..
    btw "Jangan lupa ngajak Mama-Papamu selagi mereka masih kuat diajak naik-turun tangga dan jalan kaki jauh! 😊"
    bener banget:)

    ReplyDelete