January 09, 2018

Pianemo dan Telaga Bintang - Raja Ampat Pt. 2

Hari ini kami akan menjajal Pianemo, another iconic spot of Raja Ampat. Nah, jika di cerita sebelumnya aku 'tersisih' dari tour de Raja Ampat, kali ini readers sudah bisa menemukan wajah cantikku tersebar di berbagai dokumentasi! Yeay! Pianemo, we're coming!




Sabtu, 23 September 2017
Berbeda dengan Wayag yang harus dicapai berjam-jam menyeberangi lautan, Pianemo dekat saja dari Pulau Mansuar sekitar 30-45 menit. Karena bagiku ini adalah hari pertama 'berlayar', aku sangat excited dan awas dengan pemandangan sekitar. Seakan lupa dengan trauma ombak ganas sewaktu di Lampung, aku memberanikan diri duduk di geladak kapal. Itu pun setelah yakin bahwa arus laut hari ini sedang teduh.

Personally sih aku tidak takut dengan arus laut. Tapi semakin banyak pengalaman berada di atas laut, semakin banyak juga belajar bahwa ada saatnya bagi kita untuk cukup duduk manis dan nikmatilah perjalanan. Ada juga saatnya harus grasa-grusu mondar-mandir di atas kapal demi mencari pemandangan terbaik untuk kemudian dipotret.


Perjalanan ke Pianemo sendiri tidak terlalu banyak menyuguhkan view yang spektakuler. Menurutku sih ya. Lautnya indah, kok, biru pekat dengan latar belakang pulau-pulau di kejauhan. Tapi cukup dinikmati dengan mata telanjang saja. Apalagi sinar matahari belum begitu nyengat, jadi kita tak harus memakai kacamata hitam. Sejuk banget deh 'cuci mata' pagi itu.




Mendekati Pianemo, barulah kita bertemu dengan gugusan karst berjejer yang membentuk suatu formasi acak, mirip dengan Wayag tapi lebih kecil.

Jika saja kami ke Pianemo ini 4 tahun lalu (2013), kami pasti disuguhkan tantangan trekking bukit dengan kemiringan 80 derajat yang, meski tak sedashyat pendakian Wayag, menuntut kita untuk ekstra hati-hati jangan sampai terpeleset atau tergores batu karang. Syukurlah sejak Agustus 2014, Pemerintah membangun tangga dari dermaga pulau menuju Puncak Pianemo. Tapi... sesungguhnya aku lebih menyukai medan trekking yang landai natural; naik/turun 320 anak tangga itu rasanya kok juauh lebih berat.

PERJUANGAN

Selama 15 menit kami menaiki anak-anak tangga kayu satu persatu. Ups, lebih dari 15 menit deh untuk aku dan Geng Manado (Kak Larry dan mamanya). Aku terus-terusan berhenti untuk menarik napas sejenak, sedangkan Geng Manado untuk foto-foto.




Datang pagi hari ke Pianemo ada sisi plus dan minus. Plus-nya: suasana masih sepi pengunjung, kami bahkan menjadi visitor pertama hari itu. Hal yang paling bikin gondok saat traveling -- selain dimintain 'oleh-oleh' sama orang non-sahabat, tentunya -- adalah padatnya wisatawan yang berakhir photobombing dimana-mana.

Minus-nya: arah sinar matahari justru membelakangi latar pemandangan gugusan karang di bawah, alhasil kita harus berjuang mengatur pose dengan mata menyipit akibat silau. Sinar matahari memang paling pas di sore hari, jika ingin mendapatkan foto hits di Pianemo.






Kurang lebih satu jam kami 'berpesta' selfie di Puncak Pianemo, salah satu tour guide memberi kode untuk turun kembali ke kapal. Rupa-rupanya sudah ada rombongan lain yang sedang menaiki tangga. Sebagai traveler yang profesional, kami pun menyingkir dan memberi kesempatan bagi mereka untuk bisa bernarsis ria tanpa gangguan orang asing.

Sebelum menaiki speedboat, kami singgah sejenak menikmati air kelapa muda di dermaga (Rp15.000 per butir) bahkan sempat membeli satu ekor kepiting kenari untuk dimakan malam nanti di penginapan (Rp350.000 dibagi ber-12).

Kios di dermaga Pianemo

10 menit perjalanan. Destinasi selanjutnya membutuhkan perjuangan yang sama beratnya dengan Wayag. Meski tidak setinggi puncak Wayag, kami tetap harus memanjat bukit karang setinggi ±30 meter ditemani sinar matahari yang semakin terik di atas kepala. Setelah heboh panjat-memanjat, kami menikmati pemandangan danau berair biru kehijauan yang bening . Inilah Telaga Bintang, suatu laguna yang dikelilingi bukit karang melingkar berbentuk bintang. Spot di puncak bukit ini cukup sempit, tidak seluas Wayag. Alhasil kami berdesak-desakan untuk melihat view laguna, dan harus berganti-gantian untuk menempati best spot demi berfoto.


Keliatan kan bintangnya?

Kami tidak berlama-lama di Telaga Bintang, mengingat ada rombongan lain yang sudah mengantri di bawah sana. Turunnya tetap harus perlahan-lahan dan waspada, jangan sampai tergores karang bukit yang cukup tajam atau terpeleset kerikil di beberapa bagian yang curam.

#funfact Istilah "Telaga" mirip dengan "Lago" (Bahasa Italia) yang artinya sama-sama "Danau" alias "Lake" dalam Bahasa Inggris
...

Makan siang kami tunaikan di Kampung Arborek. Dari kejauhan saja, mata kami sudah dimanjakan dengan sejuknya pemandangan terumbu karang yang tersebar di sekitar dermaga (jetty). Gimana nggak makin 'haus' untuk lompat dan mulai snorkeling? Eits, sabar dulu. Mari recharge tenaga dulu sebelum byar-byur dengan ikan-ikan cantik di bawah laut. Kami menyantap makan siang di salah satu pondok kayu sederhana di dermaga, dengan menu seafood ala kadarnya namun terasa nikmat di lidah.







Desa wisata ini ukurannya tidak begitu luas (6 hektar) sehingga kita bisa berjalan dari satu ujung desa ke ujung lainnya hanya dalam waktu singkat. Tidak jauh dari pintu masuk desa terdapat sejumlah kios kelontong kecil-kecilan, bersebelahan dengan beberapa bilik toilet umum. Seluruh kios dagangan dan homestay di desa ini dikelola oleh warga lokal. Ada sekitar 40 keluarga berdiam di Arborek, mayoritas mencari nafkah sebagai nelayan (suami) dan pembuat suvenir (istri) seperti noken dan topi daun pandan.



#funfact Di Arborek pria dilarang membuat tas noken karena benda ini adalah perlambangan rahim wanita. Dalam perspektif lokal, noken adalah simbol kehidupan yang baik, kedamaian, dan kesuburan.






Satu lompatan pendek dari dermaga, kita sudah berada di perairan yang menyimpan keindahan bawah laut yang kece parah. Airnya yang jernih membuat terumbu karang jelas terlihat, bahkan dari atas speedboat sekalipun. Ikan-ikan cantik hilir mudik seakan menyuruh kita segera terjun dan snorkeling. (Main kesini untuk melihat foto-foto indah snorkeling di bawah dermaga Arborek!)




Next destination adalah another snorkeling spot. Pulau Desa Yenbuba. Sayang sekali di sini kami sedikit sekali berfoto. Maklum lah, matahari tampaknya belum kapok menggongkan kami. 

The next sekaligus the last adalah Pasir Timbul yang terletak tidak jauh dari Pulau Mansuar. Lokasi satu ini sebenarnya adalah hamparan pasir putih yang membentuk pulau di tengah lautan. Timbunan pasir ini muncul menjadi daratan saat air laut sedang surut yaitu pagi dan sore hari.



Langit semakin kelabu, air semakin pasang menutupi gundukan pasir. Kami bergegas kembali ke boat untuk mengakhiri petualangan Raja Ampat hari terakhir ini. Ah, puas banget seharian ini: mendaki, memanjat, snorkeling, berenang, dan yang terpenting: foto-foto narsis sepuasnya. Raja Ampat yang super duper indah ini harus diabadikan sebanyak mungkin.

Boat kami melaju perlahan ke arah Pulau Mansuar. Di tengah 'jalan' kami sempat dibikin heboh karena kapal tidak bisa melewati suatu area laut yang dipenuhi pasir dan batu karang. Nampaknya air belum pasang betul, masih surut. Awak kapal kami tidak mau menyerah, karena berarti harus putar balik dan menempuh rute yang lebih jauh. Padahal Pulau Mansuar sudah di depan mata.

Jadilah kami ber-12 grasak-grusuk dikomandoi sang Kapten, "Ayo maju ke depan semua biar bagian belakang perahu keangkat!" Berlari-larilah kami memenuhi area depan boat, bahkan 4 orang duduk di haluan perahu sebagai penumpu beban. "Pindah ke kiri!" Kembali kami berpindah ke area kiri boat untuk 'mengangkat' bagian kanan badan perahu. Seru banget. Tak berapa lama, boat pun merapat ke Mambetron Homestay. Kami singgah dulu ke pondok dapur untuk menaruh kepiting dan request pada juru masak untuk memasakkan kepiting yang enak nikmat lezat.

Nama Raja Ampat sendiri diambil dari mitologi lokal. Sebelumnya, seorang wanita menemukan tujuh telur, 4 dari mereka menetas dan menjadi raja yang sekarang dikenal sebagai empat pulau besar, Waigeo, Misool, Salawati dan Batanta. Satu menetas sebagai seorang wanita, sementara yang lainnya tidak menetas.

Kepiting Masak Bumbu: enak banget!

Minggu, 24 September 2017
Hari terakhir di Raja Ampat. Grup kami akan terpecah dua di sini; Geng Manado menuju Bandara Raja Ampat sedangkan sisanya melanjutkan perjalanan dengan feri ke Kota Sorong sebelum akhirnya naik pesawat ke Jakarta.

Sambil menunggu waktu terbang, aku, Bang Adi, dan Bang Andre bersua dengan Kunto Wibisono (travelmate semasa pesiar Semarang dan Lombok) yang sesama anggota ICC. Wah, rindu banget sama makhluk satu ini! Akhirnya kesampaian juga menjenguk Kunto dan main ke Raja Ampat 😊

Geng ICC kumplit!

Kabar buruk datang dari Geng Manado: penerbangan Raja Ampat-Sorong dibatalkan karena cuaca buruk. Para penumpang kemudian disuruh untuk naik feri ke Sorong, dengan janji akan ditunggu oleh pesawat Sorong-Manado. Kenyataannya, begitu geng ini tiba di Bandara Sorong setelah perjuangan panjang... pesawatnya sudah closed door! Astaga, sedih sekali kan 😢 Alhasil tiga orang ini menginap satu malam lagi di Sorong menunggu penerbangan besok siang ke Manado. Pelajaran berharga, readers, jangan mengambil penerbangan yang langsung ke/dari Raja Ampat. Karena kemungkinan cuaca buruk lebih besar di sana, sehingga mungkin sekali kalian akan delay atau bahkan gagal terbang.

Geng Jakarta sendiri punya rute dan jadwal penerbangan yang berbeda-beda. Aku sendiri akan berangkat jam 2 siang dan tiba di Jakarta kembali jam 7 malam.

Geng Jakarta

Terima kasih banyak kami ucapkan kepada Bang Supriadi a.k.a Adi yang sukses membuktikan kelihaiannya sebagai Ketua Geng. Menyatukan 12 orang yang berbeda latar belakang itu susah lho. Aku yang awalnya tidak mau berekspektasi apa-apa justru pulang dengan kebahagiaan maksimal berkat keseruan selama di Raja Ampat.

Terima kasih untuk Kak Novi, Bang Andre, Bang Larry, Kak David, Mama Kak Larry, Mbak Endang, Mbak Erna, Mbak Sita, Mas Udi, dan Mas Adi telah mewarnai trip perdana ke Raja Ampat-ku. Semoga ini bukan kali terakhir kita bersua ya!

See you again, Saberdu-ICC-Manado Geng!
...and for all of you, readers, thank you for reading! Maaf ini post-nya sudah telat 4 bulan. Hahaha.


 Previous story: Pendakian Wayag

***

Daftar Pengeluaran

0 testimonial:

Post a Comment